Sabtu, 16 Juni 2012

Review Film Laskar pelangi


Sinopsis
diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, buku “Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitung. Anak orang-orang ‘kecil’ ini mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern pada masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras-sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak marjinal tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.
Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.
Banyak hal-hal inspiratif yang dimunculkan buku ini. Buku ini memberikan contoh dan membesarkan hati. Buku ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru, kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk maju, dan pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas. Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan bahwa pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan fasilitas. Terakhir cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Rumusan Masalah
1.    Bagaimana seorang anak  (lintang) yang harus menafkahi keluarganya tetapi juga meraih tujuannya untuk mendapatkan pendidikan?
2.    Apa yang membuat pertemanan anak-anak laskar pelangi begitu mengerti kondisi satu sama lain dipandang dari psikologisnya?
3.    Factor-faktor apa saja yang mempengaruhi prestasi dan perkembangan social lintang dalam film laskar pelangi di tinjau dari bentuk psikologinya?
Analisis
Berawal dari motivasi, yaitu sesuatu yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku (Santrock, 2008), yang dimilikinya, Lintang pun melakukan berbagai usaha agar bisa meraih tujuannya untuk mendapatkan pendidikan. Menurut Munandar, A.S. (2008), motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Inilah yang terjadi pada Lintang. Saat ia menganggap bahwa pendidikan adalah sesuatu yang ia butuhkan, ia pun melakukan usaha untuk pencapaian tujuannya tersebut.
Hal ini terlihat dari begitu bersemangatnya ia untuk pergi mendaftarkan dirinya ke sebuah sekolah meskipun sekolah itu berada jauh dari rumahnya. Setiap pagi bersepeda ke sekolah tersebut dengan hati bahagia dan selalu berusaha untuk tidak terlambat meskipun rumahnya yang paling jauh. Motivasi yang dimilikinya mendorongnya untuk berbuat atau bertindak, menentukan arah perbuatan sehingga mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh, dan menyeleksi perbuatan mana yang harus dilakukan, yang serasi, guna mencapai tujuan dengan mengenyampingkan perbuatan yang tak bermanfaat bagi pencapaian tujuannya (Purwanto, 1999).
Motivasi intrinsik yang kuat, yang dimiliki Lintang, yaitu motivasi yang bersifat internal (berasal dari dalam diri) untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan pribadinya (Santrock, 2008), membuatnya tidak pernah putus asa meski hidupnya penuh dengan keterbatasan. Saat ia harus belajar di rumah dan di sekolah dengan kondisi yang seadanya, harus melaksanakan kewajibannya mengurus rumah, mengasuh adik-adiknya, membantu ayahnya bekerja, semua ia lakukan dengan senang hati dan tanpa mengeluh. Sedangkan dukungan dari orang tua, teman-teman, dan guru-gurunya menjadi motivasi ekstrinsik bagi dirinya, yaitu motivasi yang bersifat eksternal (berasal dari luar diri) untuk melakukan sesuatu agar mencapai sesuatu yang lainnya (Santrock, 2008).
Persahabatan berkontribusi pada status teman sebaya dan memberikan beberapa manfaat yang antara lain: pertemanan, dukungan fisik, dukungan ego, dan keintiman atau kasih sayang (Parker & Asher, 1987 dalam Santrock, 2008). Persahabatan memberikan anak seorang teman akrab, seseorang yang bersedia untuk menghabiskan waktu dengan mereka dan bergabung dalam aktivitas kolaboratif. Hal ini benar-benar dirasakan Lintang bersama teman-teman sekolahnya. Mereka belajar bersama, bermain bersama, bersepeda bersama, menghabiskan waktu bersama-sama. Saat ia harus bekerja sama dengan teman-temannya dalam persiapan karnaval dan saat mempersiapkan diri untuk lomba cerdas cermat. Sebuah laskar pelangi adalah bukti keakraban mereka.
Selain itu, persahabatan juga memberikan dukungan fisik. Persahabatan memberikan sumber dan bantuan kapan pun dibutuhkan. Ini terlihat dari bagaimana Lintang membantu teman-temannya dalam belajar. Ia membantu Harun, murid yang mengalami keterbelakangan mental dan juga membantu mengajarkan teman-temannya saat buk Muslimah tidak masuk sekolah untuk mengajar.
            Dukungan ego juga menjadi manfaat dalam pertemanan. Persahabatan membantu anak merasa bahwa mereka adalah individu-individu yang berkompeten dan berharga. Selain itu, yang terpenting adalah dukungan sosial dari teman-temannya (Santrock, 2008). Hal ini dirasakan Lintang saat ia mengikuti lomba cerdas cermat. Teman-temannya mengakui bahwa ia memang berkompeten. Pengakuan dari teman dan gurunya membuat ia menjadi seseorang yang memiliki self esteem yang positif, harga diri (self esteem) merujuk pada pandangan individu tentang dirinya sendiri. Menurut Santrock (2008), harga diri juga disebut sebagai nilai diri (self worth) atau citra diri (self-image). Self worth adalah keyakinan bahwa dirinya memiliki kompetensi untuk menghadapi dunia. Hal ini juga yang mempengaruhi prestasi Lintang di sekolahnya.
Persahabatan memberi anak-anak suatu hubungan yang hangat, penuh kepercayaan, dan dekat dengan orang lain (keintiman atau kasih sayang). Hal ini dirasakan Lintang saat ia berpamitan kepada teman-temannya dan gurunya ketika ia harus berhenti sekolah setelah kematian ayahnya. Hubungan yang hangat yang terjalin bersama teman-temannya membuat ia merasa dekat dengan temannya. Bahkan pada saat itu, Ikal sampai meneteskan air mata karena harus berpisah dengan Lintang, kehilangan seorang sahabat yang sebaik Lintang.
Para ahli perkembangan telah menemukan lima jenis status teman sebaya, yaitu anak populer, anak biasa, anak yang terabaikan, anak yang ditolak, dan anak yang kontroversial (Rubin, Bukowski, & Parker, 2006; Wentzel & Battle, 2001 dalam Santrock, 2008). Anak populer dianggap sebagai teman baik dan jarang tidak disukai oleh teman sebaya mereka. Anak-anak populer memberikan penguatan, mendengarkan dengan seksama, menjaga komunikasi yang terbuka dengan teman sebaya, bahagia, bertindak sebagaimana adanya, menunjukkan antusiasme dan perhatian terhadap orang lain, serta percaya diri tanpa bersikap sombong (Hartup, 1983 dalam Santrock, 2008).
Dalam film ini, Lintang dianggap sebagai anak yang populer. Kemampuannya di bidang akademis dan kemampuan bersosialisasinya yang baik membuat ia sangat dikagumi oleh teman-temannya. Rasa percaya diri tanpa bersikap sombong yang ia tunjukkan saat membuktikan jawaban hitung-hitungannya dalam lomba cerdas cermat juga menjadikannya sebagai seseorang yang populer dan dikagumi.
Selain motivasi, kematangan perkembangannya (perkembangan emosi, sosial, mental-intelektual, moral, minat, dan kepribadian) juga mempengaruhi prestasi Lintang di sekolah. Anak usia sekolah dasar sudah menyadari bahwa ia tidak dapat menyatakan dorongan dan emosinya begitu saja tanpa mempertimbangkan lingkungannya. Ia mulai belajar mengungkapkan perasaannya dalam perilaku yang dapat diterima secara sosial (Munandar, U. 1992). Perkembangan emosi ini terlihat pada diri Lintang. Saat ia harus berhenti sekolah setelah kematian ayahnya, ia mampu mengontrol emosinya dengan baik. Hal ini memperlihatkan bahwa Lintang sudah memiliki kematangan emosi yang baik.
Sejak masuk sekolah dasar, keinginan anak untuk menjadi anggota kelompok dan diterima oleh kelompok sebaya makin meningkat. Untuk itu ia cenderung mengikuti nilai-nilai kelompok, walaupun hal ini kadang-kadang berarti harus menentang peraturan yang ada. Dari pergaulannya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dari proses sosialisasi (Munandar, U. 1992). Perkembangan sosial ini juga terlihat pada diri Lintang di saat ia berusaha untuk bergabung dengan teman-temannya, bahkan pernah mengikuti teman-temannya untuk pergi ke gua, percaya dengan hal yang bersifat mistik padahal ia tau bahwa hal itu menentang peraturan yang ada.
            Ditinjau dari teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, anak sekolah dasar memasuki tahap operasi kongkret dalam berpikir. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama (Munandar, U. 1992). Perkembangan kognitif yang dimiliki Lintang juga tergolong baik. Hal ini terlihat dari pengetahuannya yang luas dan mampu menjawab pertanyaan temannya, menjelaskan apa itu pelangi, menjelaskan tentang buaya dan juga menjelaskan tentang kota Paris kepada Ikal.
Lintang juga mengalami perkembangan moral yang baik. Pada masa sekolah, pengertian anak tentang baik dan buruk, tentang keadilan, menjadi lebih beragam (berdiferensiasi) dan lentur (fleksibel), tidak sekaku seperti pada masa kanak-kanak. Ia mulai memahami bahwa penilaian tentang baik dan buruk dapat berubah, tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku itu (Munandar, U. 1992). Perkembangan moral ini yang membuat Lintang bisa mengambil keputusan untuk berhenti sekolah. Ia tau bahwa hal itu tidak baik, namun dengan pertimbangan kondisinya yang sudah tidak mendukung, dimana ia memiliki kewajiban lain yaitu harus mengasuh adik-adiknya, ia pun akhirnya memutuskan untuk berhenti bersekolah.
            Dengan meluasnya cakrawala mental anak, minat-minatnya pun berkembang. Hal ini akan mempunyai dampak terhadap bentuk dan kedalaman (intensitas) aspirasinya. Minat menimbulkan kepuasan. Seorang anak cenderung untuk mengulang-ulang tindakan-tindakan yang didasari oleh minat, dan minat ini dapat bertahan selama hidupnya (Munandar, U.1992). Minat Lintang dalam berhitung dapat tereksplorasi dengan baik. Hal ini terlihat dari kemampuannya berhitung secara cepat. Menunjukkan kalau ia memiliki perkembangan minat yang baik.
            Semua pengaruh yang didapatkan Lintang dari lingkungannya, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah, mendukung ia untuk bisa mengoptimalkan dirinya. Perkembangan kepribadiannya pun menjadi baik. Dengan memasuki sekolah dasar, kehidupan sosial anak meluas dan faktor-faktor baru mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Hal-hal yang amat menentukan perkembangan kepribadian anak ialah sejauh mana ia merasa diterima oleh orang lain (guru dan teman sebaya), sejauh mana ia mampu melakukan tugas-tugas perkembangannya, dan bagaimana prestasinya di sekolah (Munandar, U. 1992).
            Aspek-aspek internal yang dimiliki Lintang telah membuat ia bisa mengoptimalkan kemampuannya sehingga ia bisa meraih prestasi yang baik di sekolahnya. Kematangan perkembangan yang dimilikinya (perkembangan emosi, sosial, mental-intelektual, moral, minat, dan kepribadian) dan motivasinya (baik intrinsik maupun ekstrinsik) yang kuat membuat ia bisa menjadi seorang anak yang memiliki prestasi yang baik di sekolahnya.


Psikologi pendidikan
Review Film Laskar Pelangi
Oleh : Istiana tadjuddin









INDRAYANA FEBRIYANTY
45 100 910 24




UNIVERSITAS 45 MAKASSAR
Fakultas Psikologi

2 komentar:

  1. saya izin mempublikasikan ya

    BalasHapus
  2. How to play Slots games on real money - DRMCD
    What are the best casino games 대전광역 출장안마 with low-stress gambling? · 1. Super Monkey™ Slot Machine - Play 보령 출장샵 Online 순천 출장마사지 for Real Money · 2. Rainbow 청주 출장마사지 Riches 부천 출장안마 Slot - Best

    BalasHapus